expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>
Powered By Blogger

Translate

Selasa, 05 Agustus 2014

kesultanan banten dan kerajaan Gowa-Tallo

kesultanan banten

Sejarah Kesultanan Banten
Kesultanan Banten berawal ketika Kesultanan Demak memperluas pengaruhnya ke daerah barat. Pada tahun 1524/1525, Sunan Gunung Jati bersama pasukan Demak merebut pelabuhan Banten dari kerajaan Sunda, dan mendirikan Kesultanan Banten yang berafiliasi ke Demak. Menurut sumber Portugis, sebelumnya Banten merupakan salah satu pelabuhan Kerajaan Sunda selain pelabuhan Pontang, Cigede, Tamgara (Tangerang), Sunda Kalapa dan Cimanuk.

Sejarah

Anak dari Sunan Gunung Jati (Hasanudin) menikah dengan seorang putri dari Sultan Trenggono dan melahirkan dua orang anak. Anak yang pertama bernama Maulana Yusuf. Sedangkan anak kedua menikah dengan anak dari Ratu Kali Nyamat dan menjadi Penguasa Jepara.

Terjadi perebutan kekuasaan setelah Maulana Yusuf wafat (1570). Pangeran Jepara merasa berkuasa atas Kerajaan Banten daripada anak Maulana Yusuf yang bernama Maulana Muhammad karena Maulana Muhammad masih terlalu muda. Akhirnya Kerajaan Jepara menyerang Kerajaan Banten. Perang ini dimenangkan oleh Kerajaan Banten karena dibantu oleh para ulama.

Puncak kejayaan

Kerajaan Banten mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Abu Fatah Abdulfatah atau lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Saat itu Pelabuhan Banten telah menjadi pelabuhan internasional sehingga perekonomian Banten maju pesat. Wilayah kekuasaannya meliputi sisa kerajaan Sunda yang tidak direbut kesultanan Mataram dan serta wilayah yang sekarang menjadi provinsi Lampung. Piagam Bojong menunjukkan bahwa tahun 1500 hingga 1800 Masehi Lampung dikuasai oleh kesultanan Banten.

Masa kekuasaan Sultan Haji

Pada jaman pemerintahan Sultan Haji, tepatnya pada 12 Maret 1682, wilayah Lampung diserahkan kepada VOC. seperti tertera dalam surat Sultan Haji kepada Mayor Issac de Saint Martin, Admiral kapal VOC di Batavia yang sedang berlabuh di Banten. Surat itu kemudian dikuatkan dengan surat perjanjian tanggal 22 Agustus 1682 yang membuat VOC memperoleh hak monopoli perdagangan lada di Lampung.

Penghapusan kesultanan

Kesultanan Banten dihapuskan tahun 1813 oleh pemerintah kolonial Inggris. Pada tahun itu, Sultan Muhamad Syafiuddin dilucuti dan dipaksa turun takhta oleh Thomas Stamford Raffles. Tragedi ini menjadi klimaks dari penghancuran Surasowan oleh Gubernur-Jenderal Belanda, Herman William Daendels tahun 1808.

Sultan Ageng Tirtayasa

Sultan Ageng Tirtayasa (Banten, 1631 - 1692) adalah putra Sultan Abu al-Ma'ali Ahmad yang menjadi Sultan Banten periode 1640-1650. Ketika kecil, ia bergelar Pangeran Surya. Ketika ayahnya wafat, ia diangkat menjadi Sultan Muda yang bergelar Pangeran Ratu atau Pangeran Dipati. Setelah kakeknya meninggal dunia, ia diangkat sebagai sultan dengan gelar Sultan Abdul Fathi Abdul Fattah. Nama Sultan Ageng Tirtayasa berasal ketika ia mendirikan keraton baru di dusun Tirtayasa (terletak di Kabupaten Serang). Ia dimakamkan di Mesjid Banten.

Riwayat Perjuangan

Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa di Kesultanan Banten pada periode 1651 - 1682. Ia memimpin banyak perlawanan terhadap Belanda. Masa itu, VOC menerapkan perjanjian monopoli perdagangan yang merugikan Kesultanan Banten. Kemudian Tirtayasa menolak perjanjian ini dan menjadikan Banten sebagai pelabuhan terbuka.

Saat itu, Sultan Ageng Tirtayasa ingin mewujudkan Banten sebagai kerajaan Islam terbesar. Di bidang ekonomi, Tirtayasa berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan membuka sawah-sawah baru dan mengembangkan irigasi. Di bidang keagamaan, ia mengangkat Syekh Yusuf sebagai mufti kerajaan dan penasehat sultan.

Ketika terjadi sengketa antara kedua putranya, Sultan Haji dan Pangeran Purbaya, Belanda ikut campur dengan bersekutu dengan Sultan Haji untuk menyingkirkan Sultan Ageng Tirtayasa. Saat Tirtayasa mengepung pasukan Sultan Haji di Sorosowan (Banten), Belanda membantu Sultan Haji dengan mengirim pasukan yang dipimpin oleh Kapten Tack dan de Saint Martin.
Daftar pemimpin Kesultanan Banten
Sunan Gunung Jati
Sultan Maulana Hasanudin 1552 - 1570
Maulana Yusuf 1570 - 1580
Maulana Muhammad 1585 - 1590
Sultan Abdul Mufahir Mahmud Abdul Kadir 1605 - 1640 (dianugerahi gelar tersebut pada tahun 1048 H (1638) oleh Syarif Zaid, Syarif Makkah saat itu.)
Sultan Abu al-Ma'ali Ahmad 1640 - 1650
Sultan Ageng Tirtayasa 1651-1680
Sultan Abdul Kahar (Sultan Haji) 1683 - 1687
Abdul Fadhl / Sultan Yahya (1687-1690)
Abul Mahasin Zainul Abidin (1690-1733)
Muhammad Syifa Zainul Ar / Sultan Arifin (1750-1752)
Muhammad Wasi Zainifin (1733-1750)
Syarifuddin Artu Wakilul Alimin (1752-1753)
Muhammad Arif Zainul Asyikin (1753-1773)
Abul Mafakir Muhammad Aliyuddin (1773-1799)
Muhyiddin Zainush Sholihin (1799-1801)
Muhammad Ishaq Zainul Muttaqin (1801-1802)
Wakil Pangeran Natawijaya (1802-1803)
Aliyuddin II (1803-1808)
Wakil Pangeran Suramanggala (1808-1809)
Muhammad Syafiuddin (1809-1813)
Muhammad Rafiuddin (1813-1820)

Kerajaan gowa tallo
Latar belakang kerajaan
Di Sulawesi Selatan pada abad 16 terdapat beberapa kerajaan bercorak Hindu di antaranya Gowa, Tallo, Bone, Sopeng, Wajo dan Sidenreng. Masing-masing kerajaan tersebut membentuk persekutuan sesuai dengan pilihan masing-masing.

Salah satunya adalah kerajaan Gowa dan Tallo membentuk persekutuan pada tahun 1528, sehingga melahirkan suatu kerajaan yang lebih dikenal dengan sebutan kerajaan Makasar. Nama Makasar sebenarnya adalah ibukota dari kerajaan Gowa dan sekarang masih digunakan sebagai nama ibukota propinsi Sulawesi Selatan. Sebelum abad ke 16, kerajaan-kerajaan di Sulawesi masih bercorakkan Hindu, barulah ketika  adanya dakwah dari Dato'ri Bandang dan Dato' Sulaiman, perlahan-lahan kerajaan-kerajaan tersebut mulai memeluk islam. Kerajaan gowa-tallo sendiri merupakan sebuah Kerajaan yang bercorak Islam.  Setelah bergabung menjadi Gowa Tallo, Raja Gowa Daeng Manrabia menjadi Raja Gowa Tallo Karaeng Matoaya menjadi perdana menteri (patih) dan bergelar Sultan Abdullah.
Secara geografis daerah Sulawesi Selatan memiliki posisi yang sangat strategis, karena berada di jalur pelayaran (perdagangan Nusantara). Bahkan daerah Makasar menjadi pusat persinggahan para pedagang baik yang berasal dari Indonesia bagian Timur maupun yang berasal dari Indonesia bagian Barat.
Dengan posisi strategis tersebut maka kerajaan Makasar berkembang menjadi kerajaan besar dan berkuasa atas jalur perdagangan Nusantara. 

A. Letak Kerajaan
Kerajaan Gowa dan Tallo lebih dikenal dengan sebutan Kerajaan Makassar. Kerajaan ini terletak di daerah Sulawesi Selatan. Secara geografis Sulawesi Selatan memiliki posisi yang penting, karena dekat dengan jalur pelayaran perdagangan Nusantara. Bahkan daerah Makassar menjadi pusat persinggahan para pedagang, baik yang berasal dari Indonesia bagian timur maupun para pedagang yang berasal dari daerah Indonesia bagian barat. Dengan letak seperti ini mengakibatkan Kerajaan Makassar berkembang menjadi kerajaan besar dan berkuasa atas jalur perdagangan Nusantara.

B. Raja-raja yang memerintah
Raja Makasar yang pertama memeluk agama Islam adalah Karaeng Matoaya (Raja Gowa) yang bergelar Sultan Alaudin yang memerintah Makasar tahun 1593 – 1639 dan dibantu oleh Daeng Manrabia (Raja Tallo) sebagai Mangkubumi bergelar Sultan Abdullah. Sejak pemerintahan Sultan Alaudin kerajaan Makasar berkembang sebagai kerajaan maritim dan berkembang pesat pada masa pemerintahan raja Muhammad Said (1639 – 1653).
Selanjutnya kerajaan Makasar mencapai puncak kebesarannya pada masa pemerintahan Sultan Hasannudin (1653 – 1669). Pada masa pemerintahannya Makasar berhasil memperluas wilayah kekuasaannya yaitu dengan menguasai daerah-daerah yang subur serta daerah-daerah yang dapat menunjang keperluan perdagangan Makasar. Perluasan daerah Makasar tersebut sampai ke Nusa Tenggara Barat.

C. Kehidupan ekonomi
Kerajaan Makasar merupakan kerajaan Maritim dan berkembang sebagai pusat perdagangan di Indonesia bagian Timur. Hal ini ditunjang oleh beberapa faktor :

- letak yang strategis,
- memiliki pelabuhan yang baik
- jatuhnya Malaka ke tangan Portugis tahun 1511 yang menyebabkan banyak pedagang- pedagang yang pindah ke Indonesia Timur.

Sebagai pusat perdagangan Makasar berkembang sebagai pelabuhan internasional dan banyak disinggahi oleh pedagang-pedagang asing seperti Portugis, Inggris, Denmark dan sebagainya yang datang untuk berdagang di Makasar.

Pelayaran dan perdagangan di Makasar diatur berdasarkan hukum niaga yang disebut dengan ADE’ ALOPING LOPING BICARANNA PABBALUE, sehingga dengan adanya hukum niaga tersebut, maka perdagangan di Makasar menjadi teratur dan mengalami perkembangan yang pesat.
Selain perdagangan, Makasar juga mengembangkan kegiatan pertanian karena Makasar juga menguasai daerah-daerah yang subur di bagian Timur Sulawesi Selatan.
Faktor-faktor penyebab Kerajaan Gowa Tallo berkembang menjadi pusat perdagangan adalah sebagai berikut:
  • Letaknya strategis yaitu sebagai penghubung pelayaran Malaka dan Jawa ke Maluku.
  • Letaknya di muara sungai, sehingga lalu lintas perdagangan antar daerah pedalaman berjalan dengan baik.
  • Di depan pelabuhan terdapat gugusan pulau kecil yang berguna untuk menahan gelombang dan angin, sehingga keamanan berlabuh di pelabuhan ini terjamin.
  • Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis mendorong para pedagang mencari daerah atau pelabuhan yang menjual belikan rempah-rempah.
  • Halauan politik Mataram sebagai kerajaan agraris ternyata kurang memperhatikan pemngembangan pelabuhan-pelabuhan di Jawa. Akibatnya dapat diambil alih oleh Makasar.
  • Kemahiran penduduk Makasar dalam bidang pelayaran dan pembuatan kapal besar jenis Phinisi dan Lambo.
D. Kehidupan Sosial Budaya

Sebagai negara Maritim, maka sebagian besar masyarakat Makasar adalah nelayan dan pedagang. Mereka giat berusaha untuk meningkatkan taraf kehidupannya, bahkan tidak jarang dari mereka yang merantau untuk menambah kemakmuran hidupnya.

Walaupun masyarakat Makasar memiliki kebebasan untuk berusaha dalam mencapai kesejahteraan hidupnya, tetapi dalam kehidupannya mereka sangat terikat dengan norma adat yang mereka anggap sakral. Norma kehidupan masyarakat Makasar diatur berdasarkan adat dan agama Islam yang disebut PANGADAKKANG. Dan masyarakat Makasar sangat percaya terhadap norma-norma tersebut.

Di samping norma tersebut, masyarakat Makasar juga mengenal pelapisan sosial yang terdiri dari lapisan atas yang merupakan golongan bangsawan dan keluarganya disebut dengan “Anakarung/Karaeng”, sedangkan rakyat kebanyakan disebut “to Maradeka” dan masyarakat lapisan bawah yaitu para hamba-sahaya disebut dengan golongan “Ata”.
Dari segi kebudayaan, maka masyarakat Makasar banyak menghasilkan benda-benda budaya yang berkaitan dengan dunia pelayaran. Mereka terkenal sebagai pembuat kapal. Jenis kapal yang dibuat oleh orang Makasar dikenal dengan nama Pinisi dan Lombo.
Kapal Pinisi dan Lombo merupakan kebanggaan rakyat Makasar dan terkenal sampai mancanegara.
E. Kehidupan politik

Penyebaran Islam di Sulawesi Selatan dilakukan oleh Datuk Robandang/Dato’ Ri Bandang dari Sumatera, sehingga pada abad 17 agama Islam berkembang pesat di Sulawesi Selatan, bahkan raja Makasar pun memeluk agama Islam.

Raja Makasar yang pertama memeluk agama Islam adalah Karaeng Ma’towaya Tumamenanga Ri Agamanna (Raja Gowa) yang bergelar Sultan Alaudin yang memerintah Makasar tahun 1591 – 1638 dan dibantu oleh Daeng Manrabia (Raja Tallo) bergelar Sultan Abdullah. Sejak pemerintahan Sultan Alaudin kerajaan Makasar berkembang sebagai kerajaan maritim dan berkembang pesat pada masa pemerintahan raja Muhammad Said (1639 – 1653).

Selanjutnya kerajaan Makasar mencapai puncak kebesarannya pada masa pemerintahan Sultan Hasannudin (1653 – 1669). Pada masa pemerintahannya Makasar berhasil memperluas wilayah kekuasaannya yaitu dengan menguasai daerah-daerah yang subur serta daerah-daerah yang dapat menunjang keperluan perdagangan Makasar. Ia berhasil menguasai Ruwu, Wajo, Soppeng, dan Bone.Perluasan daerah Makasar tersebut sampai ke Nusa Tenggara Barat.

Daerah kekuasaan Makasar luas, seluruh jalur perdagangan di Indonesia Timur dapat dikuasainya. Sultan Hasannudin terkenal sebagai raja yang sangat anti kepada dominasi asing. Oleh karena itu ia menentang kehadiran dan monopoli yang dipaksakan oleh VOC yang telah berkuasa di Ambon. Untuk itu hubungan antara Batavia (pusat kekuasaan VOC di Hindia Timur) dan Ambon terhalangi oleh adanya kerajaan Makasar. Dengan kondisi tersebut maka timbul pertentangan antara Sultan Hasannudin dengan VOC, bahkan menyebabkan terjadinya peperangan. Peperangan tersebut terjadi di daerah Maluku.

Dalam peperangan melawan VOC, Sultan Hasannudin memimpin sendiri pasukannya untuk memporak-porandakan pasukan Belanda di Maluku. Akibatnya kedudukan Belanda semakin terdesak. Atas keberanian Sultan Hasannudin tersebut maka Belanda memberikan julukan padanya sebagai Ayam Jantan dari Timur. Upaya Belanda untuk mengakhiri peperangan dengan Makasar yaitu dengan melakukan politik adu-domba antara Makasar dengan kerajaan Bone (daerah kekuasaan Makasar). Raja Bone yaitu Aru Palaka yang merasa dijajah oleh Makasar mengadakan persetujuan kepada VOC untuk melepaskan diri dari kekuasaan Makasar. Sebagai akibatnya Aru Palaka bersekutu dengan VOC untuk menghancurkan Makasar.

Akibat persekutuan tersebut akhirnya Belanda dapat menguasai ibukota kerajaan Makasar. Dan secara terpaksa kerajaan Makasar harus mengakui kekalahannya dan menandatangai perjanjian Bongaya tahun 1667 yang isinya tentu sangat merugikan kerajaan Makasar.

Isi dari perjanjian Bongaya antara lain:
a. VOC memperoleh hak monopoli perdagangan di Makasar.
b. Belanda dapat mendirikan benteng di Makasar.
c. Makasar harus melepaskan daerah-daerah jajahannya seperti Bone dan pulau-pulau di luar Makasar.
d. Aru Palaka diakui sebagai raja Bone.

Walaupun perjanjian telah diadakan, tetapi perlawanan Makasar terhadap Belanda tetap berlangsung. Bahkan pengganti dari Sultan Hasannudin yaitu Mapasomba (putra Hasannudin) meneruskan perlawanan melawan Belanda.
Untuk menghadapi perlawanan rakyat Makasar, Belanda mengerahkan pasukannya secara besar-besaran. Akhirnya Belanda dapat menguasai sepenuhnya kerajaan Makasar, dan Makasar mengalami kehancurannya.

F. Peninggalan sejarah

Fort Rotterdam atau Benteng Ujung Pandang (Jum Pandang) adalah sebuah benteng peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo. Letak benteng ini berada di pinggir pantai sebelah barat Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Benteng ini dibangun pada tahun 1545 oleh Raja Gowa ke-9 yang bernama I manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tumapa'risi' kallonna. Awalnya benteng ini berbahan dasar tanah liat, namun pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-14 Sultan Alauddin konstruksi benteng ini diganti menjadi batu padas yang bersumber dari Pegunungan Karst yang ada di daerah Maros. Benteng Ujung Pandang ini berbentuk seperti seekor penyu yang hendak merangkak turun ke lautan. Dari segi bentuknya sangat jelas filosofi Kerajaan Gowa, bahwa penyu dapat hidup di darat maupun di laut. Begitu pun dengan Kerajaan Gowa yang berjaya di daratan maupun di lautan. Nama asli benteng in i adalah Benteng Ujung Pandang.

Masjid Katangka
Mesjid Katangka didirikan pada tahun 1605 M. Sejak berdirinya telah mengalami beberapa kali pemugaran. Pemugaran itu berturut-turut dilakukan oleh Sultan Mahmud  (1818), Kadi Ibrahim (1921), Haji Mansur Daeng Limpo, Kadi Gowa (1948), dan Andi Baso, Pabbicarabutta Gowa (1962) sangat sulit mengidentifikasi bagian paling awal (asli) bangunan mesjid tertua Kerajaan Gowa ini.

Kompleks makam raja gowa tallo
Makam raja-raja. Tallo adalah sebuah kompleks makam kuno yang dipakai sejak abad XVII sampai dengan abad XIX Masehi. Letaknya di RK 4 Lingkungan Tallo, Kecamatan Tallo, Kota Madya Ujungpandang. Lokasi makam terletak di pinggir barat muara sungai Tallo atau pada sudut timur laut dalam wilayah benteng Tallo. Ber¬dasarkan basil penggalian (excavation) yang dilakukan oleh Suaka Peninggalan sejarah dan Purbakala (1976¬-1982) ditemukan gejala bah wa komplek makam ber¬struktur tumpang-tindih. Sejumlah makam terletak di atas pondasi bangunan, dan kadang-kadang ditemukan fondasi di atas bangunan makam.

Kompleks makam raja-raja Tallo ini sebagian ditempat¬kan di dalam bangunan kubah, jirat semu dan sebagian tanpa bangunan pelindung: Jirat semu dibuat dan balok¬balok ham pasir. Bangunan kubah yang berasal dari kuran waktu yang lebih kemudian dibuat dari batu bata. Penempatan balok batu pasir itu semula tanpa memper¬gunakan perekat. Perekat digunakan Proyek Pemugaran. Bentuk bangunan jirat dan kubah pada kompleks ini kurang lebih serupa dengan bangunan jirat dan kubah dari kompleks makam Tamalate, Aru Pallaka, dan Katangka. Pada kompleks ini bentuk makam dominan berciri abad XII Masehi.

Keruntuhan kerajaan
Raja Bone Aru Palaka meminta bantuan Belanda untuk menyerang Hasanuddin karena wilayahnya dikuasai Gowa Tallo, maka dengan cepat Belanda menyambutnya.
Belanda menyerang dari laut, sedangkan Aru Palaka menyerang dari darat. Dengan tekanan yang demikian berat akhirnya Belanda mempu memaksa Gowa Tallo menandatangani Perjanjian Bongaya (1667).
Isi dari perjanjian Bongaya antara lain:
a. VOC memperoleh hak monopoli perdagangan di Makasar.
b. Belanda dapat mendirikan benteng di Makasar.
c. Makasar harus melepaskan daerah-daerah jajahannya seperti Bone dan pulau-pulau di luar Makasar.
d. Aru Palaka diakui sebagai raja Bone.

 Gowa Tallo menyerah kepada Belanda tahun 1669.
Akibat penyerahan Gowa Tallo kepada Belanda adalah seperti berikut:
•Peranan Makasar sebagai pusat pelayaran dan perdagangan di Indonesia Timur berakhir.
•Belanda menguasai Gowa Tallo dan mendirikan benteng di New Rotterdam.
•Pejuang Makasar banyak yang pergi ke luar daerah untuk melanjutkan perjuangannya melawan penjajah Belanda. Para pejuang tersebut antara lain Kraeng Galengsung dan Montemaramo yang pergi ke Jawa melanjutkan perjuangannya di Jawa.

Beberapa akibat di atas mengakhiri Kerajaan Gowa Tallo (Makasar) dan berakhir pula peranannya sebagai pelabuhan transito yang besar.

Catatan :
Kerajaan Gowa Tallo
Prinsip damai Kerajaan Gowa dalam menyebarluaskan Islam dapat dicermati ketika Raja Gowa XIV Sultan Alauddin bersama Mangkubumi (Raja Tallo) Sultan Awwalul Islam dan pasukannya mendatangi Bone untuk mengajak memeluk Islam. Mereka tiba di Bone dan mengambil tempat di Palette. La Tenriruwa, Raja Bone XI, adalah raja Bone yang pertama memeluk agama Islam. Setelah mengadakan pembicaraan antara Raja Gowa dan Raja Bone, rakyat Bone dikumpulkan di suatu lapangan terbuka karena Raja akan menyampaikan sesuatu kepada mereka. Berkatalah Raja Bone La Tenriruwa kepada rakyat banyak :
Hai rakyat Bone, saya sampaikan padamu, bahwa kini Raja Gowa datang ke Bone menunjukkan jalan lurus bagi kita sekalian ialah agama Islam, mari kita sekalian terima baik Raja Gowa itu. Karena bagi saya sendiri sudah tidak ada kesangsian apa-apa. Saya sudah yakin benar bahwa Islam inilah agama yang benar, yaitu menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa dan mengikut Nabi Muhammad saw.

Selanjutnya Raja Bone La Tenriruwa berkata lagi:
Memang ada kata sepakat moyang kami dengan Raja Gowa yang mengatakan, bahwa barangsiapa di antara kita mendapat kebaikan, dialah menuntun di depan. Raja Gowa berkata bahwa bila agama Islam diterima oleh kita, maka Gowa dan Bone adalah dua sejoli yang paling tangguh di tengah lapangan. Bila kita terima agama Islam, maka kita tetap pada tempat kita semula. Akan tetapi, bila kita diperangi dahulu dan dikalahkan, baru kita terima agama Islam, maka jelas rakyat Bone akan menjadi budak dari Gowa. Saya kemukakan keterangan ini, kata Raja Bone La Tenriruwa, bukan karena saya takut berperang lawan orang-orang Makassar. Tapi kalau semua kata-kata dan janji Raja Gowa itu diingkarinya, maka saya akan turun ke gelanggang, kita akan lihat saya ataukah Raja Gowa yang mati.

Demikian isi pidato Raja Bone La Tenriruwa kepada rakyat banyak.
Kalau kita mencermati petikan pidato di atas dapat dipahami, bahwa betapa Raja Gowa memiliki maksud yang baik kepada Raja Bone dan Rakyat Bone untuk hanya semata-mata agar memeluk Islam. Bahkan dikatakan kepada mereka, jika mau memeluk Islam maka Kerajaan Bone dan Gowa hidup sejoli yang saling menguatkan satu sama lain. Namun, sekalipun Raja Bone La Tenriruwa sudah memeluk Islam lalu mengajak rakyatnya, maka rakyatnya pun menolak bahkan Ade’ Pitue (Hadat Tujuh) memecat La Tenriruwa dari tahtanya, dan bermufakat mengangkat La Tenripale to Akkapeang menjadi raja Bone XII (1611-1625). Akhirnya, Raja Bone XII inilah yang berperang dengan Raja Gowa sehingga ditaklukkan oleh Gowa, kemudian mereka masuk Islam.

Abdul Razak Daeng Patunru’ (1969: 21) menguraikan bagaimana Gowa mengajak kerajaan-kerajaan memeluk Islam, “Pada hakekatnya Raja Gowa sebagai seorang Muslim dan memegang teguh prinsip agama Islam, bahwa penyebaran Islam harus dilakukan secara damai. Pada mulanya sama sekali tidak bermaksud untuk memaksa raja-raja menerima Islam, tetapi karena ternyata kepada Baginda, bahwa selain raja-raja itu menolak seruan Baginda, mereka pun mengambil sikap dan tindakan yang nyata untuk menentang kekuasaan dan pengaruh Gowa yang sejak dahulu telah tertanam di tanah-tanah Bugis pada umumnya.”
Hubungan Kerajaan Gowa dengan Khilafah Islamiyah

Hubungan Kerajaan Gowa dengan Khilafah Islamiyah pada waktu itu, yang dapat kita pahami adalah dalam hal pemberian gelar “sultan” kepada raja-raja Gowa yang diberikan oleh Mufti Makkah menurut penuturan Andi Kumala Idjo, SH sebagaimana sudah disebutkan sebelumnya.
Mirip dengan pernyataan Prof. DR. M. Ahmad Sewang, pakar Sejarah UIN Alauddin Makassar, bahwa memang pada masa kerajaan-kerajaan dulu telah masuk Islam, ada semacam pengakuan atau legitimasi yang harus datang dari Turki Utsmani sebagai spiritual power (Dunia Islam masa itu) kepada raja terpilih. Beliau mencontohkan legitimasi Sultan Buton oleh Turki Utsmani sekalipun beliau mengatakan tidak sejauh itu pernah membahas masalah ini. Hanya saja, Bapak Prof. Sewang menambahkan, bahwa Turki Utsmani adalah Khalifah.


Selain itu yang dapat kita lihat adalah foto Raja Gowa yang ke-33, I Mallingkaan Daeng Nyonri Sultan Idris (1893-1895), yang terpajang di Museum Ballalompoa saat ini, menurut Andi Kumala Idjo, SH adalah pakaian Turki dilihat dari baju dan songkok Turkinya.3 [Gus Uwik]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar